Klik untuk kembali ke Halaman Utama

08 February 2011

Kenali Tujuh Pemimpin Diktator


Selain Presiden Hosni Mubarak di Mesir, Presiden Zine Abidine ben Ali dari Tunisia, sekurang-kurangnya 7 lagi pemimpin diktator terburuk di seluruh dunia. Salah satu daripadanya adalah Raja Arab Saudi. Pada dasarnya, para pemimpin diktator dan antidemokrasi ini mendapat sokongan, baik dalam bentuk material ataupun kewangan dari Amerika Syarikat yang selama ini mengagung-agungkan demokrasi. 

Joshua Holland, editor dan penulis senior di ruangan analisa politik dan kajian antarabangsa AlterNet, mendedahkan tujuh diktator paling buruk di dunia itu;

1. Raja Abdullah bin Abdul Aziz, Arab Saudi.
 
Raja Saudi ini adalah salah seorang dari tujuh pemimpin diktator di dunia versi AlterNet. Arab Saudi, merupakan sekutu AS yang paling penting di Timur Tengah. Selama puluhan tahun, AS memberikan layanan yang baik kepada keluarga Diraja Saudi ini dengan mengimpikan hasil minyak bumi negara Saudi.

Sejak menjadi Raja Saudi tahun 2005, Raja Abdullah sudah melakukan sejumlah reformasi di negaranya. Tapi Human Rights Watch menilai reformasi yang dilakukan Raja Abdullah kebanyakan masih berupa simbolik dan belum memenuhi tuntutan perlindungan hak asasi manusia secara konkrit.

Amnesty International dalam laporan tahun 2010 menyebutkan bahawa kerajaan Arab Saudi masih melakukan tindakan yang represif untuk mengekang kebebasan bersuara dan berkumpul kepada rakyatnya. Ratusan orang ditangkap atas tuduhan terorisme dan ribuan dipenjarakan atas nama keamanan negara. Dalam banyak hal, pemerintah Saudi juga masih membatasi hak-hak wanita atas nama ajaran agama.

2. Teodoro Obiang Nguema, Equatorial Guinea
 
Teodoro sudah berkuasa selama 32 tahun di Equatorial Guinea setelah menggulingkan bapa saudaranya sendiri, Francisco Macias.

Setelah melakukan rampasan kuasa berdarah dan berhasil naik ke tampuk pemerintahan, Obiang berjanji akan memimpin negara dengan cara yang lebih baik dan lebih adil dari pendahulunya. Tapi nyatanya, Obiang tidak kalah keji dengan bapa saudaranya. Tahun 1990-an, Duta besar AS di negara itu pernah mendapat ancaman bunuh hingga diberi kawalan keselamatan.

Tapi hubungan Obiang dengan AS kembali mesra setelah ditemukan sumber-sumber minyak di luar pantai negara tersebut. Menurut data majalah Parade, AS adalah pengimpot utama produk petroleum dari Equator Guinea pada tahun 2008. Di peringkat awal eksplorasi sumber minyak, negara itu mampu mengaut keuntungan yang besar, tapi semua pendapatan negara itu disimpan di kalangan kroni-kroni Obiang dalam akaun luar negara yang dirahsiakan dan AS menutup mata atas fakta tersebut sepanjang masih boleh mengaut keuntungan dari sumber minyak negeri Obiang.
3. Meles Zenawi, Ethiopia
 
Zenawi sudah berkuasa di Ethiopia selama 20 tahun. Tahun 2010, ia kembali berkuasa setelah partinya Front Demokrasi Revolusioner Rakyat Ethiopia memenangi Pilihanraya Umum dengan kemenangan yang besar iaitu 99.6% . Dia mendapat kemenangan dengan cara menekan parti-parti pembangkang dalam pilihanraya yang penuh penipuan.

Ethiopia adalah sekutu strategik AS dalam agenda "perang melawan terorisme" dan pemerintahan Zenawi menerima sokongan dana dari pemerintah AS. Menurut lembaga U.S. Agency for International Development, AS merupakan negara penyumbang terbesar kepada Ethiopia.

Pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush, Kongres AS mengesahkan undang-undang yang meminta pemerintah AS membatasi bantuan ketenteraan kepada Ethiopia, karena rejim Zenawi dianggap membelenggu kebebasan media dan buruknya hak asasi manusia di negeri itu. Tapi Bush keberatan mematuhi undang-undang tersebut dan tetap menghulurkan bantuan kewangan dengan alasan untuk biaya "anti terorisme".

Rejim Zenawi menekan kelompok-kelompok pembangkang dan penubuhan NGO yang mesra rakyat. Ia juga dianggap bertanggung jawab ke atas kes-kes kehilangan individu tertentu. Meskipun demikian, AS tetap memberikan bantuan latihan kepada pasukan tentera Ethiopia.
4. Islam Karimov, Uzbekistan
 
Karimov menjadi presiden Uzbekistan sejak tahun 1990. Ia juga menjadi salah satu sekutu AS dalam "perang melawan terorisme". Karimov memberi tempat kepada pasukan AS di Karshi-Khanabad, yang dijadikan sebagai pengkalan angkata udara AS hingga tahun 2005.

Hubungan Karimov dan AS jadi "dingin" setelah dia meminta AS untuk menutup pengkalan tentera tersebut. Meskipun demikian, menurut Parade, hubungan dagang antara AS dan Uzbekistan meningkat dua kali ganda pada tahun 2008 dan AS mengimpot uranium dalam jumlah besar dari Uzbekistan, untuk keperluan pusat janakuasa nuklear dan persenjataan AS. Tahun 2009, Uzbekistan memesan pesawat Boeing untuk keperluan pengakutan udara nasionalnya, dengan nilai pembelian sebesar 600 juta dollar.

Tapi sebagai pemimpin, Karimov menggunakan tangan besi dalam mengatur rakyatnya. Laporan Human Rights Watch menyatakan, rejim Karimov melakukan penangkapan, penyiksaan dan melakukan penindasan kepada kumpulan agama minoriti. Karimov bahkan disebut-sebut tak segan-segan membunuh lawan politiknya.

5. Idriss Deby, Chad
 
Chad adalah sebuah negara yang menjadi sekutu AS dalam kempennya "perang melawan terorisme". AS menikmati hubungan dengan Chad dalam bentuk impot minyak dari negeri itu yang nilainya mencapai 3 milion dollar setahun.

Perdagangan minyak dengan AS inilah yang memperkuat rejim Idriss Deby. AS, menurut majalah Parade, juga turut memperkuat angkatan bersenjata Chad meskipun tentera negara itu didapati mengeksploitasi kanak-kanak untuk dijadikan tentera.

Amnesty Internasional dalam laporan tahun 2010 juga menggambarkan buruknya situasi kemanusiaan di Chad di bawah kepemimpinan Idriss Deby. Warga awam dan pekerja kemanusiaan banyak yang diculik dan dibunuh, maraknya kekerasan dan perkosaan terhadap kaum wanita, termasuk kanak-kanak perempuan yang dipaksa menjadi tentera.

Rejim Deby menangkap, memenjarakan dan menyiksa orang-orang dari kumpulan yang dianggap menentang pemerintah, menekan para wartawan dan aktivis hak asasi manusia, bahkan pada tahun 2009 menghancurkan rumah-rumah dan kemudahan lainnya sehingga menyebabkan ribuan orang menjadi pelarian, dan membiarkan para penjenayah dan kumpulan bersenjata berkeliaran dan mengancam keselamatan rakyatnya.


6. Gurbanguly Berdymuhammedov (Berdymukhamedov), Turkemenistan
 
Berdymuhammedov berkuasa sejak 2006 setelah presiden Turkmenistan meninggal dunia. Dia berhasil merebut tampuk kekuasaan di Turkmenistan dengan cara mengeluarkan arahan untuk memenjarakan pengganti presiden yang sebenar.

Laporan Jabatan Luar Negeri AS menyebutkan bahawa sejak era tahun '90-an, Turkmenistan menjadi dalang utama dalam "US Caspian Basin Energy Initiative". Negara itu menjadi pemudah cara rundingan antara syarikat-syarikat komersil dan pemerintah Turkmenistan, Georgia, Azerbaijan dan Turki dalam pembangunan jaringan paip dasar laut di Laut Kaspia untuk menyalurkan gas-gas serta ekspot gas Turkmenistan ke Turki di bawah projek raksaksa yang mereka sebut sebagai Trans-Caspian Gas Pipeline (TCGP)

Majalah Parade melaporkan bahwa AS menikmati monopoli minyak dari Turkmenistan. Pada tahun 2008, nilai impot minyak AS dari negeri itu mencapai 100 juta dollar. Perusahaan minyak Chevron bahkan membuka pejabat perwakilan sendiri di Ashgabat, ibukota Turkmenistan.

Namun pendapatan negara dari hasil ekspot gas dan minyak, terutama ke AS, tidak pernah dinikmati oleh rakyat Turkmenistan. Organsasi Hak Asasi Manusia Human Rights Watch dalam laporannya menyatakan bahawa Berdymuhammedov jusetru menerapkan kebijakan yang mengekang kehidupan sosial rakyatnya serta bertindak represif.


7. Paul Biya, Cameroun.
 
Biya berkuasa di Cameroun sejak memenangi "Pilihanraya Umum" tahun 1983. Mengapa kata "Pilihanraya Umum" diberi tanda , kerana tidak seperti pilihanraya pada umumnya, Biya menjadi satu-satunya calon presiden dalam pilihanraya tersebut dan ia didakwa berhasil mendapat sokonan 99 % undi dalam pilihanraya tersebut.

Cameroun merupakan salah sebuah negara yang berhubung rapat dengan AS. Tidak menghairankan, meskipun pilihanraya yang digelar sangat tidak demokratik, pemerintah AS tetap mengalirkan dana bantuan kewangan untuk pemerintah Cameroun melalui lembaga-lembaga kewangan antarabangsa seperti Bank Duna, IMF dan African Development Bank.

Organisasi hak asasi manusia Amnesty Internasional dalam laporannya menyebutkan bahawa pemerintahan Biya di Cameroun kerap menangkap dan memenjarakan wartawan, melakukan perbicaraan mahkamah tanpa prosedur undang-undang yang betul.

Pemerintah juga berusaha mengekang gerakan kumpulan pembangkang dengan melakukan dan menyembunyikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan mereka. Rejim Biya juga tidak segan-segan menangkap orang-orang yang dianggap menentang pemerintah, melarang rakyatnya berkumpul atau membentuk kesatuan dan membatasi kebebasan bersuara.

No comments:

Post a Comment